tweeting is new detonate with high explotion

SC20130127-205727-1

doc.

Mungkin ada sebagian dari kita yang sudah mendengar anekdot, “kalau mau mengetahui karakteristik, kepribadian seseorang dan tingkat intelektualitasnya, lihat saja account jejaring sosialnya, kalau mau melihat pola pikir dan bagaimana seseorang bersosialisasi, lihat saja dari status atau tweeting yang dibuatnya,” setidaknya account sosial media menjaring kurang lebih dari profil dan kondisi psikologis seseorang.

Sosial media memang di rancang sedemikian rupa untuk lebih mempersingkat waktu, ruang dan segmentasi sosial, di mana seseorang bisa saja terhubung satu dengan yang lainya tanpa batas dan sekat, sebuah dunia imajiner tapi nyata, seperti kebanyakan berasumsi, kehidupan di dunia ini tak hanya mencakup dunia nyata dan akhirat, akan tetapi ada pula “dunia maya”, dunia ciptaan manusia dan tentunya selain untuk kepentingan profitabilitas mereka bertujuan untuk mempertemukan kita satu dengan yang lain.

Mempunyai account yang menggambarkan kita secara utuh harus di sertai tanggung jawab, tak bisa kita lepas tangan membiarkan pemikiran kita lebih dominan daripada kesadaran kita, karena apapun pola pikir kita itu di baca audiens secara umum, karena pemikiran kita bisa saja menjadi senjata makan tuan

Bicara soal tweeting, entah apa yang di pikirkan seorang Farhat Abbas, seorang selebritis, eh pengacara saat mentweeting bernada rasis kepada salah satu pejabat ibukota, entah dalam keadaan sadar atau mungkin juga dia sedang mengalami bipolar disorder akut, atau mungkin gangguan kejiwaan lainya yang tak bisa menyadari lagi bahwa dirinya merupakan sebuah figur dan ikon profesi yang malah seenaknya menyatakan sebuah pemikiran yang bersifat opini kepada publik yang sangat massif.  Yang justru malah sangat merepresentasikan, ya, seperti itulah tingkat intelektualitas dia yang sesungguhnya

Terlepas dari satu tweet bermasalahnya, terjawab pula statement perihal bagaimana peran sosial media dalam mempresentasikan karakteristik penggunanya, memang bukan hal asing bagi seorang Farhat Abbas dalam melejitkan namanya di depan publik dan media, mungkin kalau tidak dengan sensasi-sensasi dan statement-statement yang di buatnya, mana mungkin namanya di kenal di mata publik. karena untuk bangkit dari fase mediocore itu butuh sedikit bumbu yang walau kalau di cicipi rasanya pahit, akan tetapi cukup untuk membuat siapapun yang mencicipinya mengenal siapa kreatornya, yeah, kalau tidak karena prestasi ya kalau mau terkenal seseorang harus buat sensasi, tak peduli apa profesimu, pengacara sekalipun.

Ah, Lupakan tentang selebritis pengacara kurang kerjaan itu, sekedar berpaling jauh dari masa kita berjejaring ria, atau mungkin lekatkan pemikiran kita, bagi yang pernah merasakan di mana kebebasan berpendapat merupakan barang illegal, di masa orde baru, di mana selongsongan peluru media bukan hanya di bungkam akan tetapi dalam pemberitaanya di setting sedemikian rupa untuk lebih mengarahkan dan menggambarkan keberhasilan pembangunan pemerintah saat itu, seolah media dan pemerintah selalu sejalan, berbanding lurus antara satu pihak.

Di saat itu berpendapat dan beroposisi merupakan sebuah kejahatan, entah apa yang terjadi pada seseorang yang berani mengkritik kebijakan populis rezim yang di dasari paham militerisme tersebut, legitimasi hukum dan kekuasaan seolah menjadi sebuah obat mujarab untuk membersihkan pemerintahan dari sorotan kritikus-kritikus yang namanya bakalan lenyap menghilang di telan bumi kalau mereka hanya sekedar memberikan fakta yang berbanding terbalik dengan apa yang sudah pemerintah beberkan.

Sekedar review, tumbangnya rezim itu tak lebih karena tuntutan transparansi sebuah kejujuran yang seolah di tutup-tutupi, akan tetapi lebih kepada ketika ekspresi seseorang di kurung sedemikian rupa, sehingga puncak dari kekesalan segelintir tokoh-tokoh reformis untuk menggerakkan pergerakan besar-besaran, menghantam legitimasi hukum tadi, dan menggantinya dengan legitimasi buatan maysarakat, yang mungkin saja buah-buah ekspresi tersebut di representasikan dengan botol kecap yang berisi minyak tanah , yang menjadi satu-satunya luapan ekspresi seseorang saat itu.

Kini dunia berubah, apa yang dulu di larang, malah sekarang jadi panutan, tidaklah bisa kita salahkan sebuah transformasi waktu, tapi bagi saya menarik untuk menggarisluruskan peran sosial media menjadi pengungkapan ekspresi pribadi yang bersifat destruktif, kalau dulu berpendapat itu di larang, maka munculnya produk jeraring ini justru memfasilitasi setiap pribadi untuk bebas bertestimoni, kini bukan sebuah masa ketika media menutupi sebuah kebobrokan system dan birokrasi, akan tetapi di mata setiap individu punya berjuta alasan untuk mengatakan hal yang buruk kepada sesuatu yang sebenarnya baik ataupun sebaliknya.

Akan tetapi sisi buruk selalu membayangi kemana peradaban berbau teknologi itu melangkah, kemudahan yang di buat selalu berbanding lurus dengan penggunaanya yang cenderung negatif, walau kita juga tau, sisi positifnya juga sangat banyak sekali, entah berapa banyak menghubungkan saya dengan band-band yang dulunya hanya saya bisa khayalkan penampilan dan wujud mereka, dan mempertemukan kita yang tidak saling berdekatan, hingga berbagi informasi. Sosial media menciptakan ruang kritis di benak penikmatnya, bebas tanpa arah, menciptakan stigma-stigma sosial baru yang tak ada di dunia nyata, bahkan merevolusi peperangan era digital, ketika kata-kata secara verbal dinilai menjadi pelepas dahaga ketidaksukaan terhadap suatu objek,

Cara “peperangan” melalui cara verbal merupakan trending digital, mirip cara kerja botol kecap yang sering di lemparkan demonstran pasca reformasi, meledak, terarah dan mempunyai efek. Molotof kerap di lemparkan kepada sasaran tertentu, bahkan objek yang tak karuan, dan hanya untuk bertujuan membuat suasana menjadi berantakan, dan begitu pula tweeting-tweeting dan status-status dalam jejaring yang tak bertanggungjawab dewasa ini, dan objek yang merasa di lempari molotof verbal tersebut tak kerap menunjukan kepanasanya seolah terbakar api molotof tersebut, seolah mewakili sebuah asumsi komunal, akan tetapi justru merepresentasikan individu yang antipati terhadap lawan yang di serangnya, dan publik tentu sudah tau mana yang hanya sekedar “pelempar botol” atau siapa yang kena api dalam pelemparan itu

Yah, seorang pengacara di atas hanya contoh kecil penggunaan sosial media yang justru lemparan molotofnya berbalik arah dan membakar dirinya sendiri, di sisi lain kita harus bersyukur karena kita hidup di era di mana kebebasan bersuara, menyampaikan pendapat, dan bebas mengkritik, akan tetapi penggunaan bahasa verbal harus di sertai logika yang sehat, bukan di dasari ego untuk mendiskreditkan pihak-pihak yang jadi target serangan, dan khalayak ramai tau siapa yang lebih waras dalam sebuah peperangan, dan tidak semua asumsi pribadi itu bisa berbanding lurus dengan asumsi publik, atau justru malah menuai kecaman, dan berbalik mempermalukan diri sendiri, be smartest to spoke, its free but do it with so much responsibility..!

========================================================

Tinggalkan komentar

4 Komentar

  1. 'Ne

     /  Januari 16, 2013

    pengamat twitterland nih kayaknya hehe.. tapi ya bener juga sih, kita memang bebas berpendapat dan beropini tapi juga perlu mempertimbangkan baik dan buruknya. kan nggak semua orang juga sepemikiran dengan kita ya..

    *kira-kira twit2ku gimana nih? 😀

    Balas
    • ah nggak juga, saya malah orang yang agak malas berjejaring, malah pasca lupa sama password tweet tahun lalu, udah gak pernah bisa ngetweet lagi, dan malas mau bikin yang baru…hehe

      Balas
  2. saya juga termasuk yang suka kebablasan kalo disuguhi kotak text status. 😛 makanya saya gak pakai fb atau twitter lagi. setuju mas, bebas dan bertanggungjawab. harus mengendalikan ego, jangan terlalu judgmental dan menjaga kata2 yang keluar. sampaikan poin2 yang perlu aja dan jangan terlalu subjektif. soalnya kalo orang lain tersinggung, kita sendiri yang bakal repot membela diri dan ‘ngasih lebih banyak makanan buat ego’. ujung2nya orang cuma ngeliat kita sebagai pembuat sensasi/kontroversi.

    Balas

Tinggalkan Balasan ke lunaticmonster Batalkan balasan